Rabu, 06 Januari 2010

Tragedi Nopember di PLTU 3 Lontar

Puji Syukur pada Tuhan YME, akhirnya Tulisan tentang Kronologis Peristiwa Kerusuhan PLTU 3 Banten pada 14 November 2008 ini rampunglah sudah.
Kritik dan saran apalagi tambahan informasi objektif dari pembaca yang budiman tentu saja sangat diperlukan demi kesempurnaan isi tulisan ini.
Bismillaahirrochmaanirrochiim.
Bermula di sebuah rumah milik saudara Bakri bin Ishak (Sekdes Desa Lontar Kecamatan Kemiri Kabupaten Tangerang Provinsi Banten Indonesia), yang beliau dan keluarganya sejak sore hari melawat ke Kampung Selatip, ± Pukul 19.15 WIB Penulis yang sedang sendirian ketiduran selepas Maghrib di rumah tersebut yang sebelumnya berdua dengan Asep Saful Khoiri bin H. Komarudin (Staf Desa Lontar), sedang mengerjakan Administrasi Desa menggunakan Komputer, tiba-tiba dibangunkan oleh Pemilik Rumah yaitu Bakri bin Ishak yang datang bersama Saman Leo bin Suana (Anggota BPD Desa Lontar), yang pada intinya menceritakan keberadaan para Petugas Kontribusi Desa di Lokasi Proyek PLTU 3 Banten tidak ada di tempat, khabar ini didapat dari Pak Subandi (anggota Koramil Kecamatan Mauk) melalui Handphone yang saat itu baru datang dan masih di Lokasi dalam rangka Tugas Rutin Pengawasan.
Selanjutnya Penulis berangkat ke Lokasi Tempat Pos Kontribusi Desa bersama Bakri dan Saman Leo. Disana sudah ada Pak Subandi dan satu orang temannya, juga sudah ada sekitar 10 orang yang lain. Tempat kelengkapan Kontribusi keadaannya tidak normal, kotak uang hilang, mejanya sudah berada ditengah badan jalan, Petugasnya tidak ada , Karcisnya pun tidak ada barang selembar. Kami saling mencari jawaban tentang apa yang terjadi. Pak Subandi selaku orang pertama yang datang paling awal ke Lokasi pun pada kenyataannya tidak dapat memberikan jawaban yang jelas.
Penulis berinisiatif mencari kejelasan dengan cara menghubungi para Petugas Kontribusi yang hilang melalui Handphone. Kekhawatiran pun mulai menyelimuti, betapa tidak, Jaringan Indosat yang sedang angot ditambah ketika sekalinya terhubung dengan Ahmad Sobari bin Sapawi (Anggota BPD Desa Lontar), beliau hanya bilang HALLO, susah sekali diajak bicara, ditanya ada dimana, kenapa, apa yang terjadi, tak sepatah kata pun menjawab pertanyaan Penulis. Demikian pula ketika terhubung dengan Hamidi bin Asnawi (Staf Trantib Desa Lontar) dan juga ketika terhubung dengan Sajamudin bin Asmara (Ketua RT.09 Desa Lontar). Sementara Warga Desa secara berangsur mulai berdatangan dengan maksud sama yakni mencari informasi ada apa. Intinya, dari berbagai informasi yang terangkum saat itu adalah : Kapolsek Mauk tidak tahu, Danramil tidak tahu, Pospol Kemiri tidak tahu, Petugas Trantib Kecamatan Kemiri tidak tahu, Perusahaan tidak tahu. Hal ini berlangsung paling tidak ± 1 jam.
Massa makin bertambah, keadaan makin rawan.
Disaat itulah datang H. Saudi bin Jawan (Anggota BPD Desa Lontar) mengabarkan bahwa berdasarkan keterangan dari Security yang berjaga di Pos Pantau diperoleh berita bahwa yang membawa Hamidi, Sajam dan Ahmad Sobari plus Sardani (Karyawan PT. KBU) adalah OTOY, siapa otoy ?
Polisi kah... ?
Rasanya tidak mungkin karena Polsek pun mengetahui dan menyetujui Kontribusi buat Desa tersebut.
Preman kah... ?
Tidak mungkin, karena semua unsur dilibatkan dalam kebersamaan dan tanggung jawab dalam Kontribusi dimaksud.
Jawara kah... ?
Juga tidak mungkin, karena mereka sudah ada porsi yang lebih layak dan privat.
(Belakangan diketahui ternyata Otoy ini Anggota Polisi Polres Tangerang Kabupaten).
(Seandainya IKON yang diJUAL itu Pak Gusti atau Pak Isu saja, mungkin tidak ada yang mau BELI, karena masyarakat Desa Lontar sangat tahu, beliau adalah seorang Polisi).
(Sedangkan Otoy, jangankan masyarakat Desa Lontar, Polsek Mauk saja tidak ada yang tahu).
Tiba-tiba suasana buyar, mulai tidak terkendali dan tegang manakala ternyata ada yang menemukan sepeda motor milik Ahmad Sobari terjungkal di belakang tenda Pos Kontribusi yang memang sepintas tidak terlihat dikarenakan cahaya lampu hanya ada di bagian depan Pos tersebut.
Mulailah dari kerumunan warga yang sudah berjumlah ratusan tersebut, beberapa diantaranya meneriakkan ajakan dan mencetuskan tindakan.
Ada yang menuduh ulah Perusahaan.
Ada yang merendahkan kinerja Aparatur Pemerintahan Desa.
Ada yang mengajak mendatangi Polsek dan Polres.
Tetapi semua itu dapat diatasi, hanya dengan memberi pengertian bahwasanya kita punya Pimpinan Desa/Kepala Desa, tunggu dulu, kita tunggu beliau yang sedang dalam perjalanan menuju kesini (ke Lokasi Tempat Kontribusi).
Suasana kembali terkendali.
Tetapi ternyata dari kerumunan tersebut ada yang merasa tidak puas. Tanpa sepengetahuan Penulis, mereka yang katanya berjumlah sekitar ± 40-50 orang telah berangkat menuju ke Lokasi Mess/Kantor Main Kontraktor PT. Dongfang Electric Corporation (DEC) yang berjarak ± 1,3 Km dari Lokasi Pos Kontribusi Desa, dengan berjalan kaki. Menyadari hal tersebut, Penulis serta merta menuju Lokasi Mess dimaksud, dengan berjalan kaki pula, yang ditengah perjalanan kemudian disusul dan dibonceng dengan sepeda motor oleh Samin bin Sarkim (Kepala Dusun/Jaro 3 Desa Lontar) ke tempat kerumunan warga tepat di depan Sekretariat FOSIL (Forum Silaturahmi Pemuda Selatip) yang berjarak ± 150-200 M dari Pos 1 Security 911/Pintu Gerbang Mess Dongfang.
Ternyata Warga dari Kampung Selatip sudah banyak berdatangan di Lokasi Kesekretariatan Fosil tersebut, dan yang diseberang Saluran Irigasi Primer Desa (Kulung) masih di luar Area Kawasan Proyek, jumlahnya lebih banyak lagi. Taksiran Penulis jumlah warga yang ada diperkirakan lebih dari 1000 orang.
Illustrasi :
Kawasan Mess Dongfang lusnya ± 4 Ha dengan tinggi tembok dinding 2,5 M di pasangi kawat duri pada bagian atas temboknya.
Didalamnya terdapat 1 Kavling dengan 7 blok berkapasitas 8 kamar pada setiap bloknya (sudah dihuni), 3 Kavling yang lain sedang dalam pembangunan (belum dihuni).
Penulis langsung mendapati kerumunan tadi dan tetap bersiteguh mengingatkan dan menenangkan keadaan dengan cara yang sama, bahwa kita punya Pemimpin/Kepala Desa, kita tunggu Pak Lurah yang sedang dalam perjalanan menuju Proyek ini.
Warga pun dapat tenang, meskipun terkadang terdengar sungutan kurang patut dari kerumunan tersebut.
Tiba-tiba terdengar bunyi gaduh dari sebelah Timur Mess yang ternyata pelemparan batu dari luar Mess terhadap Atap bangunan Mess. Semakin lama semakin gencar dan brutal.
Illustrasi :
Penulis berada di sebelah barat Mess dalam kerumunan terbanyak yang sedang mulai kondusif.
Memang di sekeliling pagar tembok Mess ada kelompok-kelompok kecil terpisah, ada yang sekitar 3-4 orang, ada yang 2-3 orang, yaitu yang di sebelah Selatan dan di sebelah Timur Laut, tentu saja yang berada di sebelah Timur tidak terlihat oleh Penulis.
Kelompok inilah yang menurut Penulis mengawali gerakan anarkis pada Serangan Kesatu.
Jumlah pemancing-pemancing ini pun tak lebih dari 20-30 orang.
Tak pelak lagi barisan yang berada di sebelah barat pun yang merupakan kelompok terbesar, sebagiannya spontan berhamburan bergabung dengan yang sedang beraksi.
Illustrasi :
Serangan ini diawali hujan batu kemudian lampu penerangan Mess mati kemudian pintu gerbang utama Mess terbuka (kesemuanya berlangsung kurang dari 1 menit), hal ini didasari oleh Penulis karena ketika terdengar hujan batu Penulis pun setengah berlari dan tetap sambil menghalau massa agar tidak terpancing, lampu kemudian mati, kemudian Penulis berlari menuju Pintu Gerbang Mess dan baru saja melewati Pos 1 Security 911, pintu gerbang Mess serta merta terbuka dari dalam.
Serangan Kesatu berlangsung paling lama 10-15 menit, dan dapat dihentikan.
Kerusuhan terhenti (jeda) berlangsung 15-20 menit.
Itu pun situasinya tetap mencekam, karena dari kejauhan yakni konsentrasi warga yang berada di Barat Mess masih meneriakkan yel-yel diselingi gemuruh sorak sorai.
Benar saja, akhirnya warga yang menurut perkiraan Penulis lebih dari 400-500 orang datang hendak menerobos masuk, apa daya, Penulis dengan dibantu 2 orang yaitu Pian/Tipung dan Dahlan/DL (keduanya adalah anggota Security/Kamlok dari PT. Soil Tech Indonesia).
Pintu Gerbang Mess yang sudah terbuka lagi pula cuma kami yang jaga, akhirnya tak kuasa membendung warga, sehingga kurang dari separuhnya sajalah yang berhasil kami halau, yang itu pun karena faktor kesadaran yang masih ada pada mereka yang mengurungkan aksinya tersebut. Inilah yang Penulis sebut sebagai Serangan Kedua/Terakhir. Berlangsung lebih dari 30 menit. Penulis tidak melakukan apapun setelah massa memaksa menerobos pada Serangan Kedua tersebut, selain duduk di dekat Pos 1 Security yang terbakar sambil sesekali menatap nanar ke arah dalam Mess yang berkobar.
Serangan ini berakhir tetkala ada seruan dari dalam, bahwa akan ada ledakan dahsyat dari Tabung Gas Elpiji milik PT. Silkar National karena sedang terbakar yang berada di dalam Lokasi Mess.
Tidak berapa lama terdengar dari kejauhan suara Sirene Pemadam Kebakaran.
Kemudian terdengar pula sirene dari Mobil Polisi.
Sesudah itu datanglah Pak Supri (Binamas Desa Lontar) berboncengan bersama Arjayi bin Sadeli ( Kepala Dusun/Jaro 2), yang selanjutnya disusul oleh Jiin bin Askad (Kepala Dusun/Jaro 4) berboncengan bersama Samawi bin Markasan (Kepala Dusun/Jaro 1).
Selang sesaat kemudian datang H. Haerudin bin Raswani (Kepala Desa Lontar). Kesemuanya terus memasuki Lokasi Mess yang sudah ditinggalkan para Perusuh, tetapi masih mencekam dikarenakan api masih membakar Benwall (Material dari China yang berupa tembok aluminium dengan karet busa di bagian dalamnya) juga bebrapa kamar Mess.
Selanjutnya Evakuasi terhadap para Penghuni Mess pun berlangsung cepat dan aman.
Tiada satu korban jiwa pun dari insiden ini.
Tentu saja ini adalah kerja keras dan kesigapan dari beberapa komponen terkait, seperti para anggota Security, Aparatur Desa setempat dan beberapa tokoh masyarakat.
Sedangkan pihak Polres Tangerang Kabupaten, sebagai yang punya hajat (Operasi Premanisme yang Unprosedural, juga terkesan memancing keresahan dan kekeruhan pada daerah yang masih dilanda kekurangstabilan kondisi keamanan internal Desa sebagai imbas dari keberadaannya Mega Proyek tersebut), datang ± diatas pukul 00.30 WIB.
Kejanggalan :
- Jika ini operasi Premanisme.
Mengapa pengutip-pengutip di daerah lainnya seperti di Desa Kemiri, Desa Rancalabuh, Desa Klebet, Desa Pagedangan Ilir, Desa Pasilian dan Desa Bakung juga yang diperkirakan kutipan liar lainnya, bahkan lebih tidak jelas, tidak ditertibkan ?
Sedangkan di Desa Lontar, pungutan itu di dalam Proyek dan atas izin dari Main Kontarktor (PLN dan Dongfang), memakai stempel Desa agar tidak dipalsukan, yang itupun atas permintaan Proyek, atas kesepakatan dengan Muspika (Kecamatan, Polsek dan Koramil)setempat. Sedangkan kutipan di Desa lainnya yang jauh lebih liar dan lebih tidak jelas, tidak ikut ditertibkan.
Mengapa di laksanakan malam hari ?
Mengapa tidak satupun anggota Kepolisian tersebut yang memakai baju Dinas Kepolisian ?
Mengapa tidak berkoordinasi dengan Kepolisian setempat atau terdekat, seperti Polsek Mauk dan Polsek Kronjo ?
Ditambah lagi, Polres Tangerang Kabupaten dibawah pimpinan AKP Dewa Wijaya yang datang pada dini hari setelah proses Evakuasi tersebut, langsung mengumpulkan para Aparatur Desa termasuk Kepala Desa untuk mendengarkan penjelasan, bahwa bagaimanapun Kepala Desa harus mempertanggungjawabkan masalah ini.
Akhirnya sekitar pukul 02.05 WIB hari Sabtu 15 November 2009 dibawalah kami bertiga, yaitu Kepala Desa dan Sekdes dan Penulis (ikut terbawa karena diminta Kepala Desa untuk mendampinginya), ke Polres Tangerang Kabupaten di Tigaraksa.
Tiba di Polres pukul 04.00 WIB.
Pukul 08.00 WIB Kepala Desa langsung di BAP, karena sudah ada surat izin resmi dari Bupati.
(Hebat ...!!!)
(Sabtu ngantor nich... Pak)
(Senin kan bisa)
(Kalau Camat itu anak, Kades itu Cucu lho, Pak)
(Lagipula, Ada Azas Praduga Tak Bersalah kan... ?)
Oh...
Maklum kasus Negara.
Yang dirusak Proyek Negara.
Yang diperiksa Abdi Negara.
Yang memeriksa Pengayom Negara.
Yang merusak Warga Negara.
Provokatornya sih tidak kena, karena mungkin Sang atau Para Provokator sih bukan merupakan bagian dari Negara. Sedangkan ini hanya urusan Negara.
Secepat dan sesederhana itu... ?
Luar biasa ...!
Andai proses persidangan dan pembuktian status hukum pun bisa secepat itu.
Betapa tidak, di negara kita, untuk mengetahui seseorang bersalah atau tidak secara hukum, itu memerlukan kisaran 6 bulan.
Orangnya dikurung pula.
Bisa diluar, jika ada jaminan Sukarno Hatta.
Padahal di Negeri ini, pekerjaan yang sebetulnya bisa dikerjakan satu orang, harus saja dikerjakan oleh sepuluh orang, walaupun alasannya klasik, itung-itung gotong-royong atau bagi-bagi pekerjaan supaya sama-sama enak. Lagipula itu juga kan membantu program pemerintah dalam hal menyerap Tenaga Kerja, meskipun yang yang diserap itu, toh para keluarganya sendiri.
Okelah ...!
Meski pada prakteknya, kenapa suatu pekerjaan yang dikerjakan oleh gotong-royong ini (kasus Penulis) lambatnya malah seperti pekerjaan sepuluh orang yang dikerjakan sendirian ?
Dimana, benang kusut ini ...?
Wahai Bapak Wali Negeri, Bpk. Wakil Presiden Republik Indonesia, mana janjimu..... ? Katanya ini kriminal murni dan harus diusut tuntas juga ditindak tegas, Pak.
Kami tunggu terus, Pak.
Ini harus tuntas.
Jika tidak, sampai di akhirat pun akan kami tagih janji Bapak.
Mengapa... ?
Karena, dari 30 orang yang jadi tersangka, cuma 4 orang yang terbukti secara meyakinkan terlibat pengrusakan, itupun kelas rebon campur teri, Pak.
Kakapnya koq tidak ada... ?
Percuma dong, pihak Kepolisian sampai menerapkan swiping dalam pelaksanaan tugasnya dan selama 12 hari lebih, Desa Lontar digeledah, disisir, diintimidasi, diperlakukan seperti memasuki “Sarang Teroris” saja layaknya, tetapi tidak berhasil menemukan DEDENGKOTnya.
Belum lagi urusan asal tangkap, terbukti dengan adanya salah seorang dari 30 orang yang dijadikan tersangka, bahkan tidak tahu menahu tentang kejadian malam itu dikarenakan sudah tidur sejak petangnya.
Sedangkan Kepala Desa yang dituduh BIANGKEROK dari kerusuhan ini, ternyata secara meyakinkan divonis Bebas Demi Hukum, karena tidak terdapatnya bukti2 yang cukup di Pengadilan.
Lantas siapa dong BIANGKEROK sebenarnya... ?
Pasti ada... !!!
Kenapa... ?
Karena Penulis berkeyakinan dan tahu betul dengan karakter Warga Desa Lontar. Pada malam itu tidak mungkin Warga sebrutal dan seanarkis itu, bila tidak ada yang memprovokasinya.
Desa Lontar merupakan Desa IDT.
Mayoritasnya Nelayan dan Buruh Tani.
Lebih dari 70% tidak berpendidikan secara layak.
Sekitar 40% bahkan tidak mengenyam Pendidikan Dasar.
Sedangkan mereka tahu bahwa ini Proyek Negara.
Punyanya orang Jakarta, punyanya Jendral-Jendral katanya.
Aja sembrono (jangan gegabah)/Demikian petuah Tetua-tetua kampung.
Jadi mana mungkin ini kerjaan Wong Desa, Pak.
Maka ...!
Tolong kami, Pak.
Beri bimbingan kami.
Jika demikian terus.
Bukan kesejahteraan yang didapat dari Keberadaanya Mega Proyek ini, bisa jadi malah penderitaan demi penderitaan terus yang kami dapat.
Padahal...
Tidak mungkin Negara membangun proyek untuk menyengsarakan atau menimbulkan penderitaan pada rakyanya.
Terima Kasih.